Nu’aim bin Mas’ud

Category: Khazanah Published: Sunday, 16 September 2012

Nu’aim bin Mas’ud

(Pemecah Belah Pasukan Ahzab)

Oleh: Imam S.

Sungguh Allah memberikan Hidayah kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Yang demikian itu hanyalah kuasa Allah untuk mewujudkannya. Hal  ini terjadi kepada salah seorang sahabat Rasulullah saw yang bernama Nu’aim bin Mas’ud. Sebelum saya ceritakan  jasa beliau dan  kisah hidupnya dalam Islam, marilah kita melihat kepada kiprahnya pada masa jahiliyah sebelum mendapatkan Hidayah Allah swt.

Nu’aim bin Mas’ud pada masa mudanya adalah seorang yang  mahir dalam segala bidang. Ia terlahir dari sebuah keluarga saudagar yang cukup makmur di Nejed,kota kecil di  pinggiran kota Makkah. Ia terlahir sebagai seorang dari suku Ghathafan dari keluarga yang terpandang. Di usia muda, ia cukup sering berdagang dari Makkah ke Madinah, namun dari kegiatan itulah iapun menjadi tahu akan hal-hal yang menyangkut dengan kemaksiatan dan kesenangan di kedua kota besar di daerah arab itu. Dengan pemahamannya yang cukup akan kesenangan yang ditawarkan oleh Madinah, ia menjadi seorang yangcukup sering pergi jauh-jauh ke Madinah dengan banyak uang demi mencari kesenangan dunia yang ditawarkan oleh Yahudi-yahudi di kota itu. Karena demikian seringnya hal itu ia lakukan, orang-orang di Madinah menjadi mengenal dan menyukainya.

 

Pada saat itu, Nu’aim tidak ambil pusing dengan Da’wah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Saat Rasul saw dan para sahabnya memulai Hijrah ke Madinah, barulah Nu’aim merasa terganggu dan terusik, karena Bandar-bandar maksiat yang biasanya ia datangi di Madinah tiba-tiba berubah Agama dan berhenti mengadakan maksiat. Hal ini membuat Nu’aim mau tidak mau sadar akan keberadaan dan gerak-gerik Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya.

Ketika kaum Yahudi Bani Nadhir, yakni kaum Yahudi dari sekitar Madinah mulai bergerak memanas-manasi kaum Quraisy’ di Makkah dan

di Nejed untuk memerangi Muhammad dan pengikutnya di Madinah, dengan segera bani Ghathafan di Nejed menyambut baik usulan mengumpulkan pasukan dan bergabung dengan kaum  Quraisy’ dari Makkah. Saat itu Nu’aim termasuk salah satu Tokoh dari Bani Ghathafan yang ikut dalam pasukan Bani Ghathafan dibawah kepemimpinan Uyaynah bin Hishn Al-Gethfan. Selain membujuk kaum Quraisy’ di Makkah dan Bani Ghathafan Di Nejed, para Yahudi Bani Nadhir juga mengompori suku Yahudi yang tinggal di Madinah, yakni suku Yahudi Bani Quraidzah.

Saat itu Bani Quraidzah menolak usulan Bani Nadhir, Kata Pimpinan Bani Quraidzah “ Sesungguhnya kami sangat setuju dengan usul kalian, namun kalian kan tahu bahawasanya antara kami dan Muhammad terdapat sebuah perjanjian Damai, dimana kami dan mereka tidak  diperbolehkan saling serang menyerang dan membiarkannya tetap berda’wah di Madinah agar kami bisa tetap tinggal dengan tentram di Madinah. Dan kalian juga sudah tahu bahwa perjanjian kami ini tidak pernah rusak dan kami khawatir untuk merusaknya,  karena jika kami lakukan itu dan Muhammad menang dalam peperangan ini, maka ia akan menghabisi kami atau mengusir kami dari sini disebabkan oleh pengkhianatan kami.” Dengan lihainya orang-orang Yahudi dari Bani Nadhir mengatakan, “Kali ini Muhammad pasti kalah, karena sudah ada dua kabilah yang datang dari arah Makkah untuk melawan mereka, dan dengan begitu, kalian Bani Quraidzah tidak perlu lagi hidup dalam  kekangan Muhammad dan pengikutnya  lagi.” Begitu lihainya para Yahudi dari Bani Nadhir itu merayu orang-orang dari Bani Quraidzah sehingga mereka mau membatalkan perjanjainnya dengan Kaum Muslimin secara sepihak.

Berita  tentang datangnya Ribuan pasukan  dari arah Makkah dan tentang pemutusan perjanjian sepihak oleh Bani Quraidzah segera terdengar dengan cepat ke Madinah. Orang-orang Munafik yang berada di tengah-tengah Kaum  Muslimin mulai membuka kedoknya, banyak dari mereka dengan terang-terangan meninggalkan Madinah dengan alasan takut akan hal buruk yang tiba-tiba menimpa keluarga mereka jika mendadak Bani Quraidzah menyerang, sampai saat itu jumlah Kaum Muslimin yang siap mempertahankan Kota Madinah hanya sekitar 900 orang prajurit. Walaupun Ummat Islam saat itu sudah menggali parit untuk bertahan, tetapi ketakutan akan serangan dengan jumlah besar ke Kota Madinah tidak terelakkan.

Sampai pada suatu malam, setelah kira-kira dua puluh hari dalam pengepungan, Rasulullah saw berdoa, mengadu kepada Allah dengan sungguh-sungguh. “Ya Allah, Aku Memohon PertolonganMu Sesuai Dengan Apa Yang Engkau Janjikan” Sementara itu, jauh dari tempat Nabi saw bermunajat, seorang tokoh Bani Ghathafan yakni Nu’aim bin Mas’ud, sedang berbaring dalam tendanya dengan dadanya yang dipenuhi dengan kegelisahan. Ia tetap tidak dapat berfikir, mengapa ia melakukan ini semua, ia merasa apa yang dilakukannya adalah suatu kebenaran, namun dalam hatinya hal itu tetap dirasanya salah. Sampai ia berkata pada dirinya sendiri, ”Sungguh alangkah bodohnya diriku, selama ini hidupku dipenuhi dengan kesenangan yang menipu dan kegembiraan yang hanya sebentar saja. Namun mengapa kini aku  melawan Muhammad yang katanya bisa mengajarkan kehidupan yang dipenuhi ketentraman yang abadi? Bukankah aku tetap tidak  ingin kembali ke kehidupanku yang sebelumnya?” begitulah Allah swt mengubah hati seseorang dalam sekejap saja.

Malam itu juga, Nu’aim memacu kudanya dan menuju ke dekat kota Madinah. Sesampainya disana, ia meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah saw bukan sebagai musuh. Kemudian ia menyatakan keislamannya dihadapan Rasulullah dan para Mujahidin di Madinah. Setelah itu ia berkata pada Rasulullah saw. ”Ya Rasulullah, Sungguh aku telah benar-benar masuk Islam. Dan kaumku tidak mengetahui bahwa aku telah masuk Islam. Perintahkanlah kepadaku perintah apa saja yang dapat aku laksanakan.” Kemudian Rasulullah menjawab “Engkau hanya seorang dari pihak kami, kembalilah kepada kaummu! Dan jika kamu sanggup, takut-takutilah mereka bahwa sesungguhnya mereka lemah dan kami kuat. Sesungguhnya perang itu adalah tipu daya.” “Saya siap Ya Rasulullah, Insya Allah kau akan segera melihat sesuatu yang menggembirakan” jawab Nu’aim dengan semangat.

Nu’aim bin Mas’ud segera menuju ke Kubu Musuh terdekat, yakni para Yahudi yang tinggal di luar kota Madinah yaitu Bani Quraidzah. Yang telah menjadi sahabat baiknya sampai saat ini. Dan ia berkata kepada mereka, “Hai Bani Quraidzah,kalian kan tahu aku sangat menyayangi kalian. Dan aku tahu kalian sangat menyayangi dan menghormati aku layaknya orang-orang terpandang diantara kalian. Dan apa yang aku katakan kepada kalian selalu benar.” Mereka menjawab.

“Betul! hai Nu’aim. Sekarang apa yang engkau mau dari kami?”

“Kaum Quraisy dan Ghathafan mempunyai maksud dan strategi sendiri dalam  peperangan ini. Tidak seperti kalian. Negeri ini adalah negeri kalian. Dan kalian tinggal didalmnya bersama dengan keluarga dan harta benda kalian didalamnya. Sulit bagi kalian untuk meninggalkan negeri ini dan pindah ke tempat lain. Sedangkan orang-orang Quraisy’ dan Ghathafan tinggal di negeri mereka sendiri, jauh dari sini dengan keluarga dan harta benda mereka didalamnya. Mereka datang kesini untuk memerangi Muhammad dan mereka menyuruh kalian membatalkan perjanjian dengan Muhammad supaya membantu mereka memeranginya. Dan kalian telah dengan nyata menyetujuinya. Jika mereka telah menang, mereka akan merebut hak   mereka sebagai pemenang berupa harta rampasan, tawanan, dsb. Dan jika mereka kalah, mereka akan kembali ke kampong halaman mereka masing-masing ddengan aman dan meninggalkan kalian dalam keadaan tersiksa dan akanmenjadi objek balas dendam oleh Muhammad. Dan kalian lebih mengetahui daripada aku bahwa kalian tak akan sanggup menghadapi Muhammad tanpa bantuan dari kedua sekutu kalian tersebut bukan?” tanya Nu’aim.

“Engkau sungguh benar hai Nu’aim. Sekarang bagaimana pendapatmu? Apa yang harus kami  lakukan?” tanya pemuka Bani Quraidzah dengan wajah yang cukup prihatin sekaligus panik.

“Sekarang dengarkanlah oleh kalian usulku ini. Menurut saya, jangan kalian bantu mereka memerangi Muhammad  sebelum kalian minta jaminan kepada kedua sekutu kalian itu yakni pemuka-pemuka atau bangsawan-bangsawan terpandang dari mereka sebagai jaminan atas peperangan ini. Sampai kalian memenangkan peperangan ini dan menguasai negeri ini, atau kalian mati bersama-sama dengan mereka.” Jawab Nu’aim. “Saranmu itu sangat penting bagi kami.”

Setelah itu, Nu’aim segera beranjak menuju kubu Quraisy’ dan Ghathafan di luar jauh kota Madinah. Ia segera menemui pimpinan Quraisy’ saat itu, yaitu Abu Sfyan bin Harb, saat itu ada beberapa panglima Quraisy’ disekitarnya. Nu’aim berkata “Hai kaum Quraisy’ kalian tahu seberapa bencinya aku dengan Muhammad itu. Namun aku mendapat suatu rahasia yang aku  minta kalian berjanji untuk tidak memberitahukan siapapun bahwasanya berita ini datang dariku.” Para pemuka Quraisy’ itu berkata, “Ya kami berjanji hai Nu’aim.” “Sungguh aku mendapat kabar, bahwasanya Bani Quraidzah menyesal memutuskan perjanjian dengan Muhammad. Mereka bertekad mengulang kembali  perjanjian itu.  Dan mereka mengirimkan utusan kepada Muhammad yang berkata begini,”Sukakah anda jika kami tangkap beberapa bangsawan-bangsawan dari suku Quraisy’ dan Ghathafan untuk kami serahkan kepada anda untuk anda potong lehernya? Sesudah itu kami akan bergabung dengan kalian untuk mengusir mereka jauh-jauh dari kota Madinah kita yang tercinta ini.” Lalu Muhammad mengrimkan utusan kepada Bani Quraidzah yang mengatakan bahwa Muhammad setuju mengulang kembali  perjanjian dan setuju atas usul  mereka.” Kata Nu’aim “Maka jika Yahudi-Yahudi busuk itu mengirimkan utusan kepada kalian untuk menawan beberapa pemuka-pemuka kalian sebagai jaminan, maka seorangpun jangan kalian berikan.” Lanjutnya. Abu Sofyan menjawab, “Kamu adalah sekutu kami yang baik. Semoga kamu mendapat balasan yang baik pula.”Hal  ini dilakukan juga oleh Nu’aim kepada Kaumnya yakni Bani Ghathafan.

Segera setelah mendapat berita tentang Bani Quraidzah, Abu Sufyan mengirim anaknya kepada Bani Quraidzah. Lalu sesampainya anaknya kepada Bani Quraidzah, dikatakan kepada mereka,  “Bapakku berkirim salam kepada kalian. Kemudian kata bapakku, “Kita  sudah terlalu lama  mengepung Muhammad, namun belum ada hasil yang memuaskan dan tidak ada tanda-tanda ia ingin menyerah. Sehingga menjadi membosankan pengepungn ini. Kami telah bertekad untuk menghentikan pengepungan dan melakukan serangan besar-besaran esok hari.” Maka, bapakku meminta kalian, suku Bani Quraidzah untuk juga memulai serangan kalian esok pagi dari dalam Kota Madinah.”

Bani Quraidzah menjawab “Esok adalah hari Sabtu, dan sesuai dengan ajaran Yahudi, kami tidak diperkenankan melakukan apapun selain Ibadah di hari itu. Apalagi berperang. Disamping itu, kami tidak akan turut berperang bersama-sama dengan kalian, sebelum kalian Kaum Quraisy’ dan Ghathafan menyerahkan kepada kami tawanan dari pemuka-pemuka suku kalian masing-masing sebagai jaminan. Karena kami khawatir,  jika kalian kalah berperang, maka kalian akan lari dengan aman ke tempat tinggal kalian dengan aman, sementara kami terkucil  dan akan menjadi objek balas dendam oleh Muhammad dan sekutu-sekutunya padahal kalian paham bahwasanya kami tidaklah bedaya menghadapinya seorang diri.”

Setelah mendengar kabar ini, putra Abu Sufyan segera kembali kepada Ayahnya dan menyampaikan jawaban Bani Quraidzah. Para pemuka-pemuka Quraisy’ serentak marah dan menyumpahi orang-orang Bani Quraidzah. Abu Sufyan berkata, “Terkutuklah keturunan Monyet dan Babi itu, Walaupun yang mereka minta hanyalah seekor kambing kuruspun, tak akan sudi kami memberikannya pada mereka!!”

Sementara itu, setelah sudah yakin mereka tidak akan melancarkan serangan apapun kepada Kaum Muslimin pagi itu, diam-diam Nu’aim pergi ke Madinah dan bergabung dengan pasukan Kaum Muslimin. Sementara itu, datanglah pertolongan Allah yang dijanjikan kepada Nabinya yang berupa pasukan Badai Pasir yang meluluhlantakkan tenda-tenda dan menakut-nakuti hewan Tunggangan kaum Quraisy’ sehingga mereka memtuskan menghentikan pengepungan dan kabur ke negeri mereka masing-masing dengan kekalahan yang memalukan. Seperti yg tertera dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Ahzab ayat 25: 

وَرَدّٱللَّـهُٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟بِغَيْظِهِمْلَمْيَنَالُوا۟خَيْرًاۚوَكَفَىٱللَّـهُٱلْمُؤْمِنِينَ 

ٱلْقِتَالَۚوَكَانَٱللَّـهُقَوِيًّاعَزِيزًا 

“Dan Allah mengusir orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

(Al-Ahzab[33] :25)

 

Demikianlah strategi yang dilancarkan Nu’aim bin Mas’ud membuahkan hasil seperti yangdiperkirakannya.Semenjak itu, Nu’aim bin Mas’ud menjadi muslim yang taat dan pulang ke negrinya di Ghathafan dan mulai berdakwah disana. Banyak dari Kaum Ghathafan yang akhirnya masuk Islam setelah mendengar da’wah Nu’aim. Dan ketika terjadi pengumpulan pasukan oleh Rasulullah saw dari arah Madinah dan bergerak ke Makkah pada waktu penaklukan Kota Makkah, Nu’aim dengan segera berbai’at dan mengajukan pasukan dari Bani Ghathafan dibawah komandonya untuk mengabdi kepada Rasulullah dan membantu menaklukkan Kota Makkah.

Abu Sufyan saat itu meihat pasukan Ghathafan memasuki Makkah dibawah Komando Nu’aim yang memegang bendera, bertanya kepada para pelayannya,”Siapa itu yang memimpin pasukan Qabilah Ghathafan?” Mereka  menjawab “Itu Nu’aim bin Mas’ud” kemudian Abu Sufyan berkata, “ Demi Allah tidak ada laki-laki saat perang Khandaq dulu, yang kulihat begitu besar permusuhannya kepada Muhammad selain dia, namun sekarang ia membawa pasukannya dibawah bendera Muhammad untuk memerangi kita. Dan Demi Allah! Dia sangat jahat pada kita pada saat perang Khandaq,.” ****

Begitulah kisah seorang sahabat Nabi Muhammad saw yg diberi Hidayah oleh Allah dengan amat mudahnya. Dan dengan kecerdasannya mampu mengoyak persatuan pasukan kafir yg ingin memerangi agama Allah. Dan sungguh hanya Allah sajalah yg mampu melakukan hal yg demikian itu. Dan seperti yg tercantum dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 282 : 

وَٱتَّقُوا۟ٱللَّـهَۖوَيُعَلِّمُكُمُٱللَّـهُۗوَٱللَّـهُبِكُلِّشَىْءٍعَلِيمٌ

“…Dan Bertakwalah Kepada Allah, Allah Akan Memberikan Pengajaran Kepadamu. Sungguh Allah Maha Mengetahui Atas Segala Sesuatu”

(Al-Baqarah[2] : 282)

 

Shop